RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA
-Penggunaan Dana hasil pungutan eksport yang dihimpun oleh BPDP diduga
dikelola tidak transparan oleh BPDP dan berpotensi terjadi
penyelewengan oleh Oknum BPDP terutama terkait Dana BPDP untuk subsidi
produksi Biofuel.
Ketua
Umum FSP BUMN Bersatu, Arief Poyuono mengutarakan, "Potensi
penyelewengan dana itu adalah digunakanya dana BPDP subsidi penggunaan
solar yang digunakan untuk pembangkit PLN secara langsung yang harusnya
tidak diperbolehkan dalam penggunaan dana hasil pungutan perkebunan,"
jelasnya.
"Karena dana hasil pungutan tersebut awalnya digunakan untuk mensubsidi
produksi biodiesel bagi perusahaan yang memproduksi biodiesel," imbuhnya
pada wartawan di Jakarta, Jumat (25/11).
Arief
menjelaskan bila dana hasil pungutan eksport sawit untuk subsidi
biodesel itu hanya boleh digunakan di hulu saat biodiesel di produksi,
bukan untuk subsidi di hilir atau penggunaan bahan bakar biodiesel .
Lebih
lanjut, Ketua Umum FSP BUMN Bersatu mengungkapkan bahwa dari tindakan
penyaluran dana hasil perkebunan itu tentunya rentan dengan
penyelewengan dana disalurkan untuk bahan bakar pembangkit listrik PLN."
Sebab akan sulit diaudit antara pengunaan BBM yang disubsidi oleh dana
BPDP dengan hasil besaran listrik yang dihasilkan oleh setiap pembangkit
listrik PLN," ungkapnya lagi.
Sementara,
aktivis Petisi 28 Haris Rusly turut menilai penyelewengan rawan terjadi
dalam penyaluran dana BPDP ke produsen biodiesel, sebab sampai hari
ini, tidak ada hasil audit penyaluran dana BPDP yang disalurkan ke
produsen biodiesel. "Malah ditengarai perusahaan yang produksi biodiesel
dan memiliki perkebunan sawit dan Pabrik kelapa sawit lebih besar
menerima dana BPDP biodiesel dibandingkan pembayaran pungutan hasil
ekport CPOnya," ulasnya menjelaskan.
"Jika dilihat ini adalah indikasi penyelewengan dana hasil pungutan
eksport CPO yang digunakan untuk subsidi produsen biodiesel," kata
Haris.
Kemudian,
koordinator Petisi 28 itupun menyebutkan, terkait dana BPDP yang
harusnya misi utamanya adalah dana lebih ditekan digunakan sebagai
pinjaman pada petani sawit melakukan replanting kebun sawit petani
ternyata hanya omong kosong saja. "Justru dibebani dengan bunga yang
komersial yang memberatkan petani," bebernya.
Menurutnya
pemberian kredit pada petani dari BPDP mengunakan mekanisme dana yang
ada antara dana pinjaman bank dengan dana BPDP akan digabungkan untuk
kemudian dimasukkan ke rekening koperasi petani.
Selanjutnya,
petani akan mendapatkan dana sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh
bank.“Setelah itu dana BPDP akan masuk ke dana koperasi. Nanti dalam
akad sudah dapat jadwal pencairan dana tergantung tahap peremajaannya.
Dananya akan mengalir ke petani sesuai jadwal dan yang mengatur adalah
bank,” jelasnya mempertegas.
Lalu,
lanjutnya, bahwa untuk suku bunganya akan dikenakan sebesar 12,5%. Hal
ini karena pinjaman peremajaan kebun sawit dianggap sebagai pinjaman
komersial dari dana BPDP dan dana pinjaman perbankan.
Selain
itu, belum lagi syarat yang memberatkan petani dari Badan Pengelola
Dana Perkebunan (BPDP) Sawit yang menyebut ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi oleh petani sawit agar mendapatkan dana peremajaan
kebun.
Menurutnya,
salah satunya adalah lahan perkebunan sawit yang dimiliki oleh petani.
Misalkan dalam melakukan pinjaman dana dari BPDP oleh petani untuk
merevitalisasi kebun petani, serta Kebun petani berpotensi untuk meraih
sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjunjung tinggi
prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan yang sangat sulit didapat
oleh petani. " Ada kejanggalan dari porsi penggunaan dana pungutan yang
justru lebih besar untuk subsidi biodiesel," ungkapnya.
Dia
menambahkan, bahwa, seharusnya untuk pengembangan sektor sawit
.Terutama untuk membantu para petani dan program -program penelitian dan
pengembangan usaha sawit yang awalnya penggunaan dana pungutan untuk
subsidi biodiesel yang dibawah payung hukum Peraturan Presiden ( Pepres)
Nomor 24 Tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Presiden ( Pepres)
Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan
Kelapa Sawit.
Sementara
itu ,dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum, (APPKSI) , AM.
Muhammadyah, menyatakan jika Perpres Nomor 24/2016 juga merevisi
penggunaan dana pungutan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit." Jika sebelumnya
dana tersebut digunakan untuk kepentingan pemenuhan hasil Perkebunan
Kelapa Sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri Perkebunan
Sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar biodiesel," kata
Muhammdyah .
Muhammadyah,
mengungkapkan, bahwa revisi Peraturan Presiden ( Perpes) Nomor 61 tahun
2015, menjadi Peraturan Presiden ( Pepres) Nomor 24 tahun 2016 tentang
penambahan pengunaan pungutan ekport CPO oleh BPDP.
Dia
menyebutkan, hal ini adalah sebuah pelanggaran konstitusi, karena
tidak sesuai dengan Undang-Undang Republika Indonesia Nomor 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan ,pasal 93 Ayat 4 yang tertulis sebagai
berikut, Penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya
manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan,
peremajaan. Tanaman Perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana
Perkebunan.
Menurutnya,
dikemudian hari perbuatan pelanggaran terhadap UU Perkebunan dalam
perpres tentang pengunaan dana hasil Penghimpunan dari pelaku usaha
perkebunan yang digunakan untuk subsidi produksi biodiesel dan merugikan
negara serta masyarakat perkebunan. Maka presiden dan yang Menjalankan
kebijakan presiden tersebut serta yang menerima dana hasil pungutan
eksport CPO untuk produksi Biodesel bisa dijerat pasal pasal korupsi
," Karena tidak ada satu klausul yang ada di UU Perkebunan yang
menyatakan dana tersebut boleh digunakan atau diperuntukan bagi subsidi
biodiesel ," jelasnya.
Maka
itulah APPKSI mendesak KPK dan BPK untuk melakukan Audit Investigative
dari pengunaan dana hasil pungutan eksport CPO yang dihimpun oleh BPDP
karena tidak pernah transparan dan sampai hari ini belum pernah petani
sawit merasakan hasil dana tersebut.[Nicholas]
0 komentar:
Posting Komentar