Penulis ke-6 dari kanan.[Dok.radarindonesianews.com] |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA - Dalam tulisan di bagian awal, redaksi menyajikan tulisan ini dengan data umum seputar Indonesia baik dari segi geografis maupun penduduk. Dalam bagian kedua tulisan ini, "Meramal Indonesia 2020" Penulis menyajikan faktor penyebab runtuhnya Indonesia, salah satu dan faktor penting yang menyebabkan keruntuhan bangsa ini adalah lemahnya praktik keagamaan yang kaffah dalam konteks ril.
Agama menjadi indikator penting dalam melihat Indonesia ke depan. Dengan agama sajalah bangsa ini dapat keluar dari krisis dan keterpurukan. Perilaku agama dan manifestasinya harus menjunjung tinggi nilai-nilai universal sehingga totalitas itu memungkinkan masuknya Islam dalam seluruh dimensi kehidupan bangsa Indonesia. Terimalah agama dalam konsep, perundangan dan perilaku secara kaffah. Bukan agama sebatas pengakuan di bibir saja. Lemahnya praktik agama dalam konteks ini menjadi salah satu faktor keterpurukan bangsa Indonesia masa lalu, kini bahkan yang akan datang.
Agama hanya dipahami sebatas "Teras" dan itupun hanya untuk keperluan administrasi saja. Aplikasi agama menjadi abangan dengan segala bentuk aplikasinya. Keberagamaan kita belum memasuki semua lini kehidupan secara universal. Mungkin inilah yang dimaksud Sukarno dengan Islam sontoloyo, yang mengambil sisi budaya dan filsafah sebagai referensi amaliahnya. Memang benar, bila budaya asli Indonesia dijadikan rujukan utama dalam mengaplikasi nilai agama, yang terjadi adalah seperti yang ditulis oleh Sukarno dalam bukunya "Dibawah Bendera Revolusi" setebal 611 halaman itu.
Dalam hal ini kita setuju dengan premis beliau namun bukan berarti menerima sepenuhnya. Islam di Indonesia memang sangat "hebat". Bayangkan saja, setiap tahun tidak kurang dari 200 ribu orang muslim melaksanakan haji. Tetapi pelaksanaan ibadah yang sangat sarat dengan pendekatan diri, pengorbanan dan penghambaan kepada Allah SWT itu, tidak memberi imbas positif di masyarakat. Ibadah haji dilakukan untuk tujuan lain. Menuju tempat yang benar dan suci tetapi dengan hati yang kotor dengan niat dan pelaksanaan yang bertentangan dengan esensi dan pesan haji itu sendiri.
Hal ini terjadi pula dalam kehidupan berpolitik. Semua pemikiran yang mewakili kepentingan agama tidak mampu mengintegrasikan nilai-nilai religius dalam kehidupan politik praktis mereka. Kehidupan religius telah dibumihanguskan oleh kepentingan duniawi. Partai-partai "Bernuansa Islam" masih malu-malu mengatakan kebenaran di tengah publik yang sekular. Mereka takut dibilang fundamentalis dan tidak demokratis. Takut dibilang anti keanekaragaman dan lain sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, maka suara kebenaran yang berakar pada nilai agama menjadi kering kerontang. Politisi muslim terpenjara oleh ide cemerlang yang terbentang di awang-awang.
Berapa banyak partai Islam yang tumbuh di negeri ini namun tidak berani unjuk gigi mengaplikasikan nilai-nilai dan keyakinan mereka dalam kiprah politiknya. Apa yang terjadi dalam realita kehidupan politik, para pemuka agama yang berlatar belakang religius justeru terjerat dalam kasus pidana yang berlawanan dengan misi dan perannya sebagai "Khilafah Fil Ard". Kalau kita tanyakan mengapa hal ini terjadi, maka muncullah apologi untuk sebuah pembenaran dengan seribu alasan politis.
Kalau output Islam yang kita dapati semacam ini, lantas di manakah letak kesalahannya? Al-Qur'an atau umat Islamnya yang keliru? Ketika kebenaran Islam dikebiri oleh kepentingan politik, maka lahirlah politisi kelas teri yang tidak lagi peduli. Kaum muslim yang berangkat ke ladang untuk menggarap sawah kini terpusatkan seluruh potensi pikirannya pada "seekor belut" yang dijumpainya. Maka sekedar mengingatkan apa yang ditulis oleh DR. Surahman Hidayat bahwa siyasatud da'wah tidak boleh bergeser menjadi da'wah siyasiyah. Spirit siyasatud da'wah adalah mementingkan kemenangan bagi da'wah meskipun harus mengorbankan peluang meraih posisi formal. Sedang spirit siyasiyah memobilisasi segenap potensi da'wah dan mengatas-namakan da'wah untuk memenangkan posisi formal.
Dalam hal ini, kisah pencalonan Syeikh Hasan Albanna sebagai calon anggota legislatif pusat di salah satu distrik Mesir, patut diteladani. Karena tekanan Inggris yang tidak menghendaki kemenangannya, beliau rela mundur demi da'wah yang diusungnya. Bila adab gerakan politik Islam tanah air masih plintat-plintut maka partai Islam tidak akan mencapai hasil ideal seperti yang pernah dicapai Rasulullah dulu. Apalagi bila dibumbui oleh amaliah yang tidak memiliki tuntunan dan kebenaran ilahiyah. Prinsip da'wah adalah menyampaikan kebenaran walau pahit rasanya. Bukan berleha-leha dan berlibur intelektual dengan pengetahuan luas tentang politik dan ajaran Islam tanpa amaliah praktis! Atau istirahat sejenak seperti Ka'ab bin Malik.
Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha adalah representasi nilai moral yang berbasis pada kebaikan tetapi sepi dalam pembentukan kebaikan universal. Pengajaran agama begitu banyak; buku-buku agama tersebar di mana saja. Peringatan keagamaan ketiga agama ini tidak membuahkan hasil yang mampu mensejahterakan bangsa secara menyeluruh. Masjid, Gereja, Kuil dan Candi menjadi bangunan mewah dan agung tanpa pencerahan bagi penganutnya. Peringatan-peringatan keagamaan yang dilaksanakan tersebut tidak sedikitpun membawa dampak positif bagi pribadi penganutnya. Peringatan hanya menjadi upacara seremonial yang tidak sedikit memakan biaya. Mengapa tak terpikirkan oleh umat dan bangsa ini upaya membangun ketahanan ekonomi yang mampu memberikan jalan keluar kepada rakyat?
Krisis multidimensi yang terjadi di negeri ini sepatutnya menjadi cambuk bagi elit dan pemuka agama untuk mengevaluasi kebijakan secara radikal terhadap nilai-nilai agama, politik dan sistem ekonomi yang selama ini dipakai sebagai acuan. Dalam konteks ini, aplikasi nilai-nilai religius dalam media publik yang lebih luas menjadi sebuah persyaratan dalam rangka mensyukuri semua lini dan dimensi kehidupan yang kita peroleh selama ini. Bukankah dengan bersyukur kemudian Allah SWT akan menambah nikmat-Nya?[bersambung]
0 komentar:
Posting Komentar