Latest News
Rabu, 23 November 2016

Revisi RPP 52 & 53 Tahun 2000 Suburkan Mafia Telekomunikasi

Haris Rusli.[radarindonesianews.com]
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA - Revisi Rancangan PP 52 dan 53 tahun 2000 berisi tentang kewajiban semua operator untuk melakukan network sharing dan spectrum frekuensi yang sedang digulirkan Kemenkominfo. 
 
Menurut asumsi Koordinator Petisi 28, Haris Rusli, "Indikasinya akan melahirkan mafia Industri telekomunikasi," demikian ungkapnya menyampaikan pada pekan terakhir bulan November 2016, Rabu (23/11).

Haris Rusli menilai, nanti akan seperti ini caranya praktek mafia telekomunikasi bekerja, akibat diwajibkan tiap operator incumbent melakukan network sharing dan izin. "Penggunaan spectrum sharing yang bisa disewakan, hingga para mafia akan dengan mudah meminta lisensi pengunaan frekuensi pada Menkominfo," ujarnya.

Lalu kemudian, lisensi itu tidak digunakan untuk melakukan usaha bisnisnya. "Namun izin Lisensi tersebut dijual belikan atau dipinjam pakai oleh perusahaan telekomunikasi yang sudah exis yang masih membutuhkan tambahan frekuensi akibat tidak diberikan tambahan baru frekuensi.
 
Padahal spektrum frekuensi adalah bagian dari asset milik negara yang dilarang diperjualbelikan dan disewa. "Atau dengan analogi lain, ibaratnya industri telekomunikasi akan sama dengan usaha pertambangan," tukasnya.

Pasalnya, sambung Haris, dengan mudah izin lokasi dan izin usaha pertambangan didapat oleh perusahaan yang tidak punya modal menambang lalu dijual pada perusahaan tambang lainnya yang memiliki modal menambang dapat dijual putus atau dengan sistim bagi fee pemilik izin lokasi dan IUP dikeluarkan Bupati.

Selain itu, Koordinator Petisi 28 itu menganggap motif kedua (2) tidak perlu lagi perusahaan baru akan berinvestasi di Indonesia dalam bidang industri telekomunikasi seluler membangun infrastruktur telekomunikasi. Guna menerima dan memancarkan frekuensi cukup dengan menyewa operator yang eksis memiliki infrastruktur telekomunikasi.

"Akibatnya, tidak mungkin masyarakat mendapat layanan telekomunikasi murah dan berkualitas," ungkapnya lagi karena perusahaan itu hanya menyewa spektrum frekuensi, lalu loadnya akan berat hingga kualitas akan buruk.

Haris juga menilai kalau tidak mungkin harga jasa  telekomunikasi perusahaan  penyewaan akan lebih murah dari harga dimiliki operator seluler yang jaringannya dan frekuensi di'sharing' atau dipakai oleh perusahaan seluler yang menyewa.

"Bisa terjadi potensi moral hazard di BUMN Telekomunikasi dan Kemenkominfo," tukasnya lagi khawatir.

Dan selanjutnya yang sangat mungkin terjadi yang akan dilakukan oleh para pemegang kebijakan di BUMN telekomunikasi dan Kemenkominfo dengan menggunakan klausul diwajibkannya operator menyewakan jaringan dan spektrum frekuensi pada perusahaan yang bergerak di bidang yang sama. "Bisa terjadi akan ada perusahaan dalam perusahaan dan perusahaan dalam kementrian kominfo yang dimiliki oknum pemegang kebijakan di BUMN Telekomunikasi dan Kominfo tidak jauh beda seperti usaha pertambangan," tandasnya mengkritisi.

Dan terakhir, patut dipahami pula alasannya yang ketiga(3), menurut Haris Rusli bahwa dengan adanya revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000, diatas nanti akan menjadi ladang baru para mafia telekomunikasi di Indonesia, malahan yang ada mengundang investor mengeruk kekayaan di bumi Indonesia lewat Penerapan kedua PP tersebut setelah direvisi nantinya.

"Karena itulah kami turut mendesak Presiden untuk membatalkan Rencana revisi kedua PP tersebut, karena jelas akan menimbulkan menimbulkan persaingan tidak sehat dalam Industri telekomunikasi," imbuhnya mengingatkan, selain membahayakan Industri telekomunikasi nasional dan berdampak akan merugikan masyarakat serta negara.[Nicholas]
  • Comments

0 komentar:

Item Reviewed: Revisi RPP 52 & 53 Tahun 2000 Suburkan Mafia Telekomunikasi Rating: 5 Reviewed By: radarindonesianews.com