Ferdinand Hutahaean, Pimpinan Rumah Amanah Rakyat.[Nicholas/radarindonesianews.com] |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA
- Mengenai akan digelarnya Aksi Bela Islam jilid III pada 2 Desember 2016 nanti,
sepertinya sangat menakutkan bagi rezim Jokowi-JK ini.
Ferdinand Hutahaean, pimpinan Rumah Amanah Rakyat (RAR)
menyatakan,"Dengan dasar dan menggunakan
indikator serta bukti apa Kapolri menuding aksi yang
diprakarsai Gerakan Pembela Fatwa MUI tersebut sebagai MAKAR ?,"
demikian ungkapnya
"Ini jelas tudingan makar
yang prematur. Pernyataan Kapolri yang menyebut aksi 2 Desember sebagai makar dan berupaya menghalangi aksi tersebut terjadi adalah
bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional masyarakat," ungkap
Ferdinand lebih lanjut.
Ferdinand
menambahkan,"Tidak mungkin Kapolri Jenderal Tito tidak mengetahui ada
pasal 28 UUD 45, ada UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
(HAM), selain itu ada UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat dan terakhir ada konvensi universal yang sudah
diratifikasi dalam UU No 12 tahun 2005 tentang hak hak sipil," jelasnya.
"Dengan
demikian sangat patut diduga bahwa Kapolri sengaja dan secara sadar
menabrak UU demi kepentingan kekuasaan tertentu," cetus Ferdinand.
Padahal,
menurut Ferdinand sebenarnya tidaklah sulit dan tidak perlu membawa
bangsa ini kedalam situasi yang semakin tidak menentu andaikan penegakan
hukum dilakukan secara sama dan adil terhadap semua orang.
"Soalnya, perbedaan perlakuan Polri terhadap para tersangka penistaan agama yang
kemudian jadi terpidana sangat berbeda perlakuan terhadap tersangka
Ahok. Perbedaan perlakuan inilah yang kemudian bisa
kemungkinan menjadi api dalam sekam." imbuhnya.
"Sekarang
yang menjadi pertanyaan apa susahnya melakukan penahanan terhadap Ahok?
Dan penahanan itu tidak melanggar apapun dan justru saat ini sangat
urgent karena kasus Ahok semakin hari semakin mengaduk-aduk bangsa ini
dan terancam pecah," bebernya lagi mengungkapkan.
Menurut Pimpinan Rumah Amanah Rakyat ini, Pernyataan Kapolri mengenai aksi tanggal 2 Desember mendatang sebagai makar dan
akan ditindak adalah bentuk pendekatan kekuasaan yang otoriter melebihi
rejim diktator.
"Soalnya, tanpa bukti dan tanpa
penjelasan apapun, Kapolri seolah mau memberangus pelaku aksi dengan
tuduhan makar. Kenapa begitu menakutkan aksi 2 Desember itu bagi rejim
ini? Bukankah tidak perlu takut kalau pemerintah sudah bekerja benar?
Mengapa demo yang difokuskan ke istana dan DPR dianggap sebagai makar?,"
Tanya Ferdinand.
"Sangat
tidak masuk akal seorang Kapolri dengan mudahnya menuding masyarakat
yang ingin menegakkan hukum dengan tudingan makar. Apakah itu
perintah presiden yang takut lengser sehingga harus mengedepankan
cara-cara represif dan otiriter ?," jelasnya.
Mestinya
presiden dan Kapolri sadar mengapa rakyat begitu marah atas
sikap pemerintah terhadap kasus Ahok."Pemerintah dalam hal ini presiden
dianggap publik membela dan melindungi Ahok. Itulah mengapa rakyat ini ingin berdemo dan bukan untuk makar," jelasnya.
"Saya
pikir Kapolri harus meminta maaf kepada publik atas tuduhannya dan
segera meletakkan jabatan karena Kapolri sebagai pengayom masyarakat,
ternyata tidak mampu mengayomi masyarakat dan bahkan menempatkan
masyarakat sebagai musuh pemerintah yang diberi label makar," urainya
mengingatkan, karena ini bisa menjadi sesuatu yang sangat fatal dan
penuh resiko bagi kelangsungan demokrasi.
"Ditambah
lagi, Presiden Jokowi harusnya lebih bisa mendengar masyarakat.
Presiden jangan melihat aksi itu hanya aksi sebagian kecil rakyat,"
tukasnya.
"Jangan
sampai seluruh rakyat turun kejalan dan presiden tidak punya tempat
untuk berlindung. Segera lakukan penegakan hukum yang sama terhadap
semua orang. Tahan Ahok sebagai tersangka pelanggaran pasal 156 a KUHP
karena berpotensi mengganggu stabilitas negara," tandasnya.[Nicholas]
0 komentar:
Posting Komentar