RADARINDOESIANEWS.COM, JAKARTA
- Rancangan Revisi PP 52 & 53 Tahun 2000 terutama tentang pasal
yang mewajibkan Network Sharing dan Frekuensi Sharing operator jaringan
telekomunikasi di Indonesia sudah siap ditandatangani oleh Presiden Joko
Widodo. Untuk itulah kedepan Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu
berupaya mengingatkan Presiden Ir. Joko Widodo agar tidak
menandatangani rancangan itu.
Menurut Ferdinand Situmorang, SE, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Ekonomi FSP BUMN Bersatu
mengungkapkan, hal itu dikarenakan harus dikaji oleh tim ekonomi Presiden
dahulu.
"Revisi PP 52 & 53 Tahun 2016 disajikan Kemkominfo dan
disetujui oleh Menko Perekonomian, serta disetujui secara terpaksa oleh
Menteri BUMN akan berdampak negatif terhadap program pembangunan proyek
infrastruktur dengan nilai nominal 5000 triliun rupiah yang dicanangkan
Presiden Jokowi nantinya," jelas Ferdinand Situmorang.
Dampak negatif revisi PP 52 & 53 Tahun 2000 berimbas
menurunnya laju pertumbuhan ekonomi sektor pembangunan infrastruktur
telekomunikasi dari semua operator seluler di Indonesia.
"Hal ini akibat
capital expenditure akan menurun. Akhirnya berdampak tidak tumbuhnya
lapangan kerja baru dan pertumbuhan Industri manufacturing sektor
infrastruktur telekomunikasi," tandasnya.
Ketua
Bidang Penelitian dan Pengembangan Ekonomi FSP BUMN Bersatu
ini juga menyampaikan dengan diwajibkannya network sharing dan frekuensi sharing
semua operator, yang sewa network dan frekuensi operator lainnya tidak
perlu membangun infrastruktur jaringan telekomunikasi.
"Operator yang
sudah memiliki infrastruktur yang luas, enggan kembali bangun
infrastruktur. Biayanya jauh lebih mahal dibanding biaya sewa yang
ditanggung oleh operator yang menyewa jaringan dan frekuensi," paparnya
menjelaskan.
"Sejalan dengan program Presiden
Joko Widodo yang akan mencari pendanaan infrastruktur melalui penjualan
sekuritas BUMN ke investor swasta dan asing, tentu juga tidak akan
optimal mendapatkan hasil dana penjualan sekuritas BUMN seperti Telkom
Group," tukasnya.
Hal ini disebabkan revisi PP 52
& 53 Tahun 2000 menurunkan fair value (nilai wajar) dari Telkom
hingga 24 % (setara dengan 17 triliun) sehingga book value Telkom juga
akan semakin merosot hingga 30 %, berdasarkan dan sesuai data penelitian
litbang Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu.
Jika
revisi PP 52 & 53 Tahun 2000 diukur dengan fair value terhadap
aktiva tetap Telkom berupa infrastruktur jaringan dan frekuensi, hal ini
akan berdampak menurunkan nilai aktiva Telkom di masa yang akan datang
dan berdampak terhadap nilai pasar sekuritas yang diterbitkan Telkom
karena turunnya infrastruktur investment gain Telkom. Soalnya, sambung
Ferdinand Situmorang, hal ini disebabkan oleh infrastruktur
jaringan dan frekuensi yang dibangun selama ini tidak meningkatkan daya
saing dalam memproduksi layanan telekomunikasi karena bisa digunakan
secara paksa oleh operator dengan cara disewa akibat revisi PP 52 &
53 Tahun 2000.
"Karena cost produksi operator
non Telkom Group akan jauh lebih murah menggunakan infrastruktur
jaringan dan frekuensi milik Telkom dan bisa menjual dengan harga produk
yang tinggi. Tidak dibebani biaya investasi,perawatan dan nilai
penyusutan dari infrastruktur seperti yang ditanggung oleh Telkom,"
jelasnya.
Dengan demikian operator nonTelkom
bisa menurunkan Capital Expenditure (Capex) dan Operational Expenditure
(Opex) tapi mendapatkan laba yang tinggi akibat revisi PP 52 & 53
Tahun 2000. Akibat Capex yang selama ini dikeluarkan oleh Telkom cukup
besar dalam Investasi infrastruktur jaringan dan frekuensi tapi tidak
memberikan capital gain yang tinggi, maka berdampak pada menurunnya book
value dan market value dari sekuritas yang diterbitkan Telkom, selain
menurunnya minat beli investor.
Oleh karena itu, revisi PP 52 & 53 Tahun 2000 yang berpotensi menurunkan
fair value, book value dan market value akan membuat keinginan Jokowi
untuk mencari dana pembangunan proyek infrastruktur sebesar +/- Rp 5000
Trilyun melalui penjualan Aset BUMN dengan cara sekuritasisasi Aset BUMN
Telkom ke swasta dan Investor asing akan kurang optimal dalam
mendapatkan dana yang dihasilkan nantinya.
"Karena itu Jokowi harus membatalkan revisi PP 52 & 53
Tahun 2000 yang disajikan Kemkominfo. Karena akan membuat gagal
pembangunan proyek infrastruktur yang ditargetkan. Dan sudah saatnya
Jokowi mempertimbangkan Menkominfo sebagai Menteri yang prioritas untuk
dicopot pada reshuffle jilid 3 pada tahun depan nanti," tandasnya.[Nicholas]
0 komentar:
Posting Komentar