RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhamad Zaitun Rasmin, mengungkapkan tuntutan penahanan dari masyarakat kepada Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaya Purnama alias Kokoh Ahok.
Menurut Zaitun, ada dua alasan kepana Koh Ahok harus ditahan oleh pihak kepolisian menyusul penetapan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama.
Pertama, dia berpotensi untuk mengulangi perbuatannya. Zaitun mengungkapkan, Koh Ahok telah membuat pernyataan tuduhan aksi pengunjuk rasa pada 4 Nopember 2011 dibayar bahkan hingga Rp 500 ribu. Kritik pun dilontarkan Wasekjen MUI itu kerena tuduhan tersebut disampaikan sehari setelah dia jadi tersangka.
“Lebih baik buat Pak Ahok supaya jangan lagi memberikan pernyataan-pernyataan yang bisa merugikan dirinya. Iya kan? kalau ditahan, nggak ada wawancara, dia akan lebih gampang untuk mengerem dirinya. Itu yang paling penting,” kata Zaitun saat diskusi bertajuk ‘Ahok Effect’ di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (19/11/2016).
Sebab kedua, para tersangka penistaan agama sebelumnya selalu ditahan. Jika Koh Ahok kemudian tidak ditahan, Zaitun mengatakan, itu bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan dan kepastian hukum di Indonesia.
“Kedua yurisprudensi kita ini kasus-kasus penistaan agama di negeri ini belum ada satupun yang tersangka tidak ditahan. Semuanya tersangka ditahan. Apalagi dalam KUHP 121 dikatakan, bila seorang tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun atau ke atas itu dapat ditahan. Dan (Pasal) 156 KUHP itu ancaman hukuman jelas lima tahun maka wajar diminta kalau ditahan,” kata Zaitun.
Zaitun menegaskan, sikap MUI sendiri tidak berhubungan atau berkaitan dengan masalah politik. Sikap terhadap Koh Ahok bukanlah pertama kali yang dilakukan MUI. Mereka pernah memberikan fatwa terhadap kasus penistaan agama sebelumnya yakni Musadek, Arswendo Atmowiloto dan lain-lain.[tb]
Menurut Zaitun, ada dua alasan kepana Koh Ahok harus ditahan oleh pihak kepolisian menyusul penetapan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama.
Pertama, dia berpotensi untuk mengulangi perbuatannya. Zaitun mengungkapkan, Koh Ahok telah membuat pernyataan tuduhan aksi pengunjuk rasa pada 4 Nopember 2011 dibayar bahkan hingga Rp 500 ribu. Kritik pun dilontarkan Wasekjen MUI itu kerena tuduhan tersebut disampaikan sehari setelah dia jadi tersangka.
“Lebih baik buat Pak Ahok supaya jangan lagi memberikan pernyataan-pernyataan yang bisa merugikan dirinya. Iya kan? kalau ditahan, nggak ada wawancara, dia akan lebih gampang untuk mengerem dirinya. Itu yang paling penting,” kata Zaitun saat diskusi bertajuk ‘Ahok Effect’ di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (19/11/2016).
Sebab kedua, para tersangka penistaan agama sebelumnya selalu ditahan. Jika Koh Ahok kemudian tidak ditahan, Zaitun mengatakan, itu bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan dan kepastian hukum di Indonesia.
“Kedua yurisprudensi kita ini kasus-kasus penistaan agama di negeri ini belum ada satupun yang tersangka tidak ditahan. Semuanya tersangka ditahan. Apalagi dalam KUHP 121 dikatakan, bila seorang tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun atau ke atas itu dapat ditahan. Dan (Pasal) 156 KUHP itu ancaman hukuman jelas lima tahun maka wajar diminta kalau ditahan,” kata Zaitun.
Zaitun menegaskan, sikap MUI sendiri tidak berhubungan atau berkaitan dengan masalah politik. Sikap terhadap Koh Ahok bukanlah pertama kali yang dilakukan MUI. Mereka pernah memberikan fatwa terhadap kasus penistaan agama sebelumnya yakni Musadek, Arswendo Atmowiloto dan lain-lain.[tb]
0 komentar:
Posting Komentar